Minggu, 21 Oktober 2012

Selalu ada Orang Baik

Oleh Aisyah Fad


Tanpa disadari kesibukan dalam masyarakat modern, telah mengikis empati dan gotong royong yang dulu pernah diagungkan sebagai ciri khas bangsa kita tercinta ini.  Tetapi selalu ada celah untuk sebuah perbaikan terutama jika kita memulainya dengan diri sendiri. Tak perlu takut akan kemampuan, karena bantuan akan datang jika kita memerlukannya, yang terpenting adalah kebaikan mempunyai buah lebih dari kebaikan.
               
 “Ibu tergesa-gesa? Ibu dulu saja! Saya menunggu taxi berikutnya”
 Subhanallah! Tentu saja saya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikannya. Wanita itu mundur dan menyilakan saya masuk taxi yang akan ditumpanginya.  
Oh my God! Saya memang sedang tergesa karena sudah terlambat menghadiri  sebuah acara. Tetapi darimana dia tahu jika saya sedang bergegas? Apakah wajah ini terlalu memelas?
Saya segera masuk ke dalam taxi, menghempaskan badan dan menghela nafas lega. Beberapa saat kemudian taxi itu berjalan perlahan, konstan dengan sedikit goncangan
Sikap simpatik wanita itu, membawa  ingatan ini melayang menembus waktu. Saat itu saya semester awal kuliah, saya tinggal di kota Madiun dan kuliah di kota Surabaya. Otomatis tempat yang berjauhan mengharuskan  saya untuk sering naik bus .

Seperti biasa, Senin pagi saya berangkat ke Surabaya. Dan bukan lagi rahasia jika hari Minggu malam dan Senin pagi adalah arus balik yang padat dimana kursi selalu penuh, bahkan ada yang rela berdiri. Terutama mereka yang tujuannya tidak terlalu jauh.

Bus mulai berjalan meninggalkan Madiun. Memasuki kota Nganjuk ada yang turun, ada pula yang naik, diantara yang naik adalah seorang anak laki-laki yang kurus tinggi mengenakan seragam SMU lengkap dengan tas sekolahnya, sepertinya baru memasuki SMU 
Anak kecil itu berdiri bergelantungan di dalam bus, berdasarkan seragamnya saya pikir dia akan segera turun. Ternyata saya salah, hingga kota Nganjuk habis, kemudian masuk kota Kertosono dia masih saja berdiri, tetapi keadaanya sudah berbeda mukanya memerah dan satu tangannya menutup mulut. Saya paham sekali itu tanda-tanda mabuk.

Sampai di kota Jombang, satu demi satu penumpang yang tidak mendapat tempat duduk  turun. Tersisa si Adik sendirian berdiri, agaknya dia mabuk dalam level tinggi sehingga berkali-kali pegangannya terlepas. Kenek Bus memberikan kantung plastik kepadanya. Diterimanya kantung itu dengan menunduk, badannya melengkung lemas. Berkali-kali dia hampir terjerembab.

Saya membayangkan, bagaimana jika saya menjadi dia. Mabuk dalam keadaan duduk saja tidak enak, apalagi berdiri. Spontan saya berdiri dan celingukan ke belakang berharap ada laki-laki yang berbaik hati mau bertukar tempat dengan si Adik tersebut. 
Seorang ibu dibelakang saya menegur, seolah bertanya sedang apa saya.  Kemudian saya menunjuk si Adik dan mengucapkan kata simpati untuknya, sengaja lebih keras dengan harapan ada yang terketuk untuk berbaik hati. Tetapi harapan itu sia-sia.

Saya pikir, mengapa saya mengharapkan bantuan orang lain? Saya ingin memberikan tempat duduk ini, masalahnya saya juga pemabuk berat, apalagi jika sedang melewati sebuah perusahan yang cukup besar di Mojokerto, lalu lintas seolah tak bergerak,..duh. Hampir dipastikan di titik itu saya K.O.  
    
Keadaan si Adik semakin parah, badannya semakin melengkung seolah sama sekali tak kuat mengangkat kepala, tangannya masih memegang  pegangan bus namun berkali kali terlepas. 
Rasa tak tahan melihatnya membuat saya tak sempat berpikir lagi, spontan berdiri menawarkan tempat duduk saya kepadanya, dengan syarat “Bergiliran”…  jika saya lelah dia berdiri, demikian juga sebaliknya. Dia setuju dan kami  bertukar tempat saya berdiri dan si Adik duduk. 
Baru sebentar saya berdiri, telah terasa suasana yang berbeda. Berdiri sedirian diantara orang-orang yang duduk (termasuk kondektur dan kenek)  terasa asing layaknya anak tiri. Tetapi dengan berdiri, saya tahu bahwa  banyak diantara penumpang yang tertidur, wajar jika mereka tidak tahu bahwa ada yang sedang membutuhkan pertolongan.  

Sayangnya fisik ini lebih buruk  dari dugaan saya. Belum setengah jam saya berdiri, masih jauh dari tempat yang menjadi langganan saya mabuk, perut ini sudah teraduk . Wow! Keren, saya mentertawakan diri sendiri. Akhirnya karena tak tahan dengan adukan di perut, saya mendekati si Adek.
               “Dik, giliran dulu yah? Nanti kakak berdiri lagi” Saya sedikit membungkukkan badan supaya suara ini tak terdengar orang lain. 

Adik itu mengangguk sigap, tampak sekali aura terimakasih diwajahnya, tetapi baru saja adik itu mau berdiri, seorang lelaki berperawakan preman dan rambut panjang mendekatiku. 
                “Ambil tempat saya saja!”
 
              

 ** Tulisan ini saya kirimkan ke majalah,..tapi gagal dengan sukses. Yang mau memberi petuah..akan diterima dengan keranjang "senang hati".


Senin, 10 September 2012

Modal Nol : Semua Berawal dari Niat Baik

“Apa rahasianya ?”… Yuli rela memberikan stan gratis kepada beberapa orang  pemahat kayu.

Memulai usaha memang tak semudah dikata. Tetapi dengan berbekal keyakinan, keberanian melangkah dan niat yang kuat, maka di bumi mana pun kita berpijak peluang selalu terbuka. Dengan atau tanpa modal.


Yuli Vitati Darmawan. Seorang karyawan yang harus Resign dari pekerjaanya karena sang suami berpindah tugas ke Banten, telah membuktikannya. Memulai usaha dengan modal nol hingga menghasilkan gol.

Berawal dari  poster “Banten Expo”. Yuli nekad mengambil stan, meski belum memiliki barang yang di perdagangkan. Hingga akhirnya Yuli menjual kembali barang-barang (batik-batik milknya yang belum digunakan).

Stan Yuli laris manis, ludes dalam waktu empat hari. Apa rahasianya ? Yuli bekerjasama dengan beberapa orang pemahat kayu untuk beraksi di stan miliknya. Mereka di persilakan memahat di stan. Sebuah simbiosis mutualisme, sang pemahat mendapat stan gratis untuk mempromosikan pahatannya. Begitu juga Yuli mendapat pinjaman property ukiran kayu untuk penampilan bootnya, imbas lainnya, stan berkesan lebih artistik dan  barang-barang Yuli pun dilirik pembeli.

Setelah itu Yuli ketagihan expo. Meski batik dipromosikan sebagai batik Serang, tetapi pada awalnya batik didapatkannya dari Solo dan Wonogiri. So,..jangan takut melangkah ya!!

Sekarang usaha batik tersebut telah berkembang,..Yuli memiliki dua gerai di Hotel kota Banten dan Cilegon, sudah mulai memproduksi sendiri batiknya dan sudah memiliki workshop sendiri.

*Di sarikan dari Majalah Sekar edisi 91
Ingin mengetahui versi lengkap? Buka Majalah Sekar (tgl 5-19 September) halaman 54
Atau di http://www.majalahsekar.com 

SEMOGA BERMANFAAT.