Tanpa disadari kesibukan dalam masyarakat modern, telah mengikis empati
dan gotong royong yang dulu pernah diagungkan sebagai ciri khas bangsa kita
tercinta ini. Tetapi selalu ada celah
untuk sebuah perbaikan terutama jika kita memulainya dengan diri
sendiri. Tak perlu takut akan kemampuan, karena bantuan akan datang jika kita memerlukannya, yang
terpenting adalah kebaikan mempunyai
buah lebih dari kebaikan.
“Ibu tergesa-gesa? Ibu
dulu saja! Saya menunggu taxi berikutnya”
Subhanallah! Tentu
saja saya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikannya. Wanita itu mundur
dan menyilakan saya masuk taxi yang akan ditumpanginya.
Oh my God! Saya memang sedang tergesa karena sudah terlambat menghadiri sebuah acara. Tetapi darimana dia tahu jika saya sedang bergegas? Apakah wajah ini terlalu memelas?
Oh my God! Saya memang sedang tergesa karena sudah terlambat menghadiri sebuah acara. Tetapi darimana dia tahu jika saya sedang bergegas? Apakah wajah ini terlalu memelas?
Saya segera masuk ke dalam taxi, menghempaskan badan dan
menghela nafas lega. Beberapa saat
kemudian taxi itu
berjalan perlahan, konstan dengan sedikit goncangan
Sikap simpatik wanita itu, membawa ingatan ini melayang menembus waktu. Saat itu saya semester awal kuliah, saya tinggal di kota Madiun dan kuliah di kota Surabaya. Otomatis tempat yang berjauhan mengharuskan saya untuk sering naik bus .
Sikap simpatik wanita itu, membawa ingatan ini melayang menembus waktu. Saat itu saya semester awal kuliah, saya tinggal di kota Madiun dan kuliah di kota Surabaya. Otomatis tempat yang berjauhan mengharuskan saya untuk sering naik bus .
Seperti biasa, Senin pagi saya
berangkat ke Surabaya. Dan bukan lagi rahasia jika hari Minggu malam dan Senin pagi adalah arus
balik yang padat dimana kursi selalu penuh, bahkan ada yang rela berdiri.
Terutama mereka yang tujuannya tidak terlalu jauh.
Bus mulai berjalan meninggalkan Madiun. Memasuki kota Nganjuk ada yang turun, ada pula yang naik, diantara yang naik adalah seorang anak laki-laki yang kurus tinggi mengenakan seragam SMU lengkap dengan tas sekolahnya, sepertinya baru memasuki SMU
Anak kecil itu berdiri bergelantungan di dalam bus, berdasarkan seragamnya saya pikir dia akan segera turun. Ternyata saya salah, hingga kota Nganjuk habis, kemudian masuk kota Kertosono dia masih saja berdiri, tetapi keadaanya sudah berbeda mukanya memerah dan satu tangannya menutup mulut. Saya paham sekali itu tanda-tanda mabuk.
Bus mulai berjalan meninggalkan Madiun. Memasuki kota Nganjuk ada yang turun, ada pula yang naik, diantara yang naik adalah seorang anak laki-laki yang kurus tinggi mengenakan seragam SMU lengkap dengan tas sekolahnya, sepertinya baru memasuki SMU
Anak kecil itu berdiri bergelantungan di dalam bus, berdasarkan seragamnya saya pikir dia akan segera turun. Ternyata saya salah, hingga kota Nganjuk habis, kemudian masuk kota Kertosono dia masih saja berdiri, tetapi keadaanya sudah berbeda mukanya memerah dan satu tangannya menutup mulut. Saya paham sekali itu tanda-tanda mabuk.
Sampai di kota Jombang, satu demi satu penumpang yang tidak mendapat tempat duduk turun. Tersisa si Adik sendirian berdiri, agaknya dia mabuk dalam level tinggi sehingga berkali-kali pegangannya terlepas. Kenek Bus memberikan kantung plastik kepadanya. Diterimanya kantung itu dengan menunduk, badannya melengkung lemas. Berkali-kali dia hampir terjerembab.
Saya membayangkan, bagaimana jika saya menjadi dia. Mabuk dalam keadaan duduk saja tidak enak, apalagi berdiri. Spontan saya berdiri dan celingukan ke belakang berharap ada laki-laki yang berbaik hati mau bertukar tempat dengan si Adik tersebut.
Seorang ibu
dibelakang saya menegur, seolah bertanya sedang apa saya. Kemudian saya menunjuk si Adik dan mengucapkan
kata simpati untuknya, sengaja lebih keras dengan harapan ada yang terketuk
untuk berbaik hati. Tetapi harapan itu sia-sia.
Saya pikir, mengapa
saya mengharapkan bantuan orang lain? Saya ingin memberikan tempat duduk ini,
masalahnya saya juga pemabuk berat, apalagi jika sedang melewati sebuah
perusahan yang cukup besar di Mojokerto, lalu lintas seolah tak bergerak,..duh.
Hampir dipastikan di titik itu saya K.O.
Keadaan si Adik semakin parah, badannya semakin
melengkung seolah sama sekali tak kuat mengangkat kepala, tangannya masih
memegang pegangan bus namun berkali kali
terlepas.
Rasa tak tahan melihatnya membuat saya tak sempat berpikir lagi, spontan berdiri menawarkan tempat duduk saya kepadanya, dengan syarat “Bergiliran”… jika saya lelah dia berdiri, demikian juga sebaliknya. Dia setuju dan kami bertukar tempat saya berdiri dan si Adik duduk.
Baru sebentar saya berdiri, telah terasa suasana yang berbeda. Berdiri sedirian diantara orang-orang yang duduk (termasuk kondektur dan kenek) terasa asing layaknya anak tiri. Tetapi dengan berdiri, saya tahu bahwa banyak diantara penumpang yang tertidur, wajar jika mereka tidak tahu bahwa ada yang sedang membutuhkan pertolongan.
Rasa tak tahan melihatnya membuat saya tak sempat berpikir lagi, spontan berdiri menawarkan tempat duduk saya kepadanya, dengan syarat “Bergiliran”… jika saya lelah dia berdiri, demikian juga sebaliknya. Dia setuju dan kami bertukar tempat saya berdiri dan si Adik duduk.
Baru sebentar saya berdiri, telah terasa suasana yang berbeda. Berdiri sedirian diantara orang-orang yang duduk (termasuk kondektur dan kenek) terasa asing layaknya anak tiri. Tetapi dengan berdiri, saya tahu bahwa banyak diantara penumpang yang tertidur, wajar jika mereka tidak tahu bahwa ada yang sedang membutuhkan pertolongan.
Sayangnya fisik ini
lebih buruk dari dugaan saya. Belum
setengah jam saya berdiri, masih jauh dari tempat yang menjadi langganan saya
mabuk, perut ini sudah teraduk . Wow! Keren, saya mentertawakan diri sendiri. Akhirnya karena tak tahan dengan adukan di perut, saya mendekati si Adek.
“Dik, giliran dulu yah? Nanti kakak berdiri lagi” Saya sedikit membungkukkan badan supaya suara ini tak terdengar orang
lain.
Adik itu mengangguk sigap,
tampak sekali aura terimakasih diwajahnya, tetapi baru saja adik itu mau
berdiri, seorang lelaki berperawakan preman dan rambut panjang mendekatiku.
“Ambil tempat saya saja!”
** Tulisan ini saya kirimkan ke majalah,..tapi gagal dengan sukses. Yang mau memberi petuah..akan diterima dengan keranjang "senang hati".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar